
Drama televisi “Selibat” ini mengangkat cerita tentang pentingnya memahami cinta sejati dengan Tuhan dan sesama, dan mengingatkan para seminaris bahwa cinta yang mereka rasakan adalah cinta yang saling menjadikan. Cinta yang saling menjadikan adalah cinta yang tidak lagi didasari oleh nafsu semata, melainkan cinta yang didasari oleh ketulusan, kerelaan untuk berkorban dan keikhlasan. Cinta bukanlah semata–mata pengendapan biologis dari daya tarik dan hasrat seksual, tapi cinta yang radikal, yaitu tingkatan cinta dimana seseorang memberikan diri secara total, bukan hanya dengan apa yang kita punyai atau kita perbuatan pada orang lain. Ketika cinta radikal tersebut ditunjukan secara langsung pada Tuhan dengan memberikan seluruh kepenuhan diri, maka inilah yang menjadi ciri khas hidup para rohaniawan–rohaniawati, persembahan hidup selibat. Cinta kasih hidup selibat menjadi keutamaan apabila ia mencintai dengan hati seperti hati Yesus yang mencinta dan mencintai Yesus dalam sesama.Media drama televisi memiliki konsekwensi tersendiri bagi penciptaan makna yang hendak disampaikan kepada penonton, yaitu penggunaan bahasa filmis dalam proses penyampaian pesan kepada penonton. Dua unsur pembentuk drama televisi dan bahasa filmis yaitu unsur naratif (yang berhubungan dengan aspek cerita dan tema) dan unsur sinematik (yang berhubungan dengan aspek–aspek teknis dalam produksi sebuah drama televisi)Pesan yang ingin disampaikan dalam drama televisi “Selibat” ini adalah memahami makna cinta kasih sejati kepada Tuhan dan sesamanya dalam kehidupan sehari–hari seorang seminaris.